DENPASAR — Kontroversi mencuat dalam persidangan kasus dugaan pemalsuan silsilah Jro Kepisah di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Alih-alih menjadi tontonan terbuka bagi publik, pengadilan justru melarang media melakukan siaran langsung. Apakah ini langkah untuk menutupi jalannya proses hukum dari sorotan?
Mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 Tahun 2020, PN Denpasar menyatakan larangan live streaming ini sesuai ketentuan Pasal 4 angka 6 Perma.
Baca juga:
PENGUMUMAN SANGAT PENTING
|
"Live streaming selama persidangan tidak diizinkan oleh pengadilan, kecuali untuk pengambilan gambar sesaat sebelum atau setelah sidang, " ujar Gede Putra Astawa, Humas PN Denpasar, pada Selasa (12/11/2024).
Alasan pengadilan, menurutnya, adalah karena belum adanya dasar hukum yang jelas untuk membolehkan siaran langsung sepanjang sidang berlangsung. Kepala Pengadilan Negeri Denpasar pun memutuskan untuk tidak memberikan izin.
Namun, keputusan ini menuai kritik tajam dari para jurnalis dan aktivis hukum yang mempertanyakan transparansi pengadilan. Beberapa pihak menduga, kebijakan ini menunjukkan adanya kekhawatiran pengadilan terhadap pengawasan publik dalam kasus sensitif seperti Jro Kepisah.
Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 menjamin hak pers untuk meliput sidang yang terbuka untuk umum. Pembatasan ini pun dinilai kontraproduktif terhadap prinsip keterbukaan.
"Seharusnya tidak ada yang perlu disembunyikan jika proses hukum berjalan sesuai prosedur, " ujar seorang pengamat hukum yang turut mengkritik keputusan tersebut.
Kebijakan serupa di beberapa kasus besar, seperti korupsi Jiwasraya dan pembunuhan Brigadir J, justru menambah kecurigaan publik terhadap pengadilan. Apakah ini tanda bahwa PN Denpasar berusaha menghindari sorotan lebih dalam terkait kasus Jro Kepisah?
Publik menuntut transparansi untuk menjaga kepercayaan terhadap sistem peradilan. Menghalangi liputan media hanya memperkuat dugaan bahwa ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Sudah waktunya Mahkamah Agung mengevaluasi kebijakan ini, agar kredibilitas peradilan tetap terjaga di mata masyarakat.
Berbeda dengan Dr. Wirawan SH, MH., pengamat hukum lainnya mengatakan bahwa,
"Kalau kita melihat hirarki perundang-undangan Perma lebih rendah dari undang-undang pers sehingga yang di pakai seharusnya berdasarkan undang-undang pers dalam persidangan ini, " pungkasnya. (Ray)